Dalam rangka menyambut Hari Malaria
Sedunia yang
diperingati setiap tanggal 25 April, rencananya Duta Roll Back Malaria (RBM) yaitu
Princess Astrid dari Kerajaan Belgia
akan datang ke Indnesia untuk
melihat program pengendalian malaria dari tingkat pusat hingga pelaksanaannya
di lapangan. Dijadualkan, Princess Astrid dan Direktur
Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (PP dan PL) dr.
Tjandra Yoga Aditama akan
melihat secara langsung pelaksanaan program pengendalian di Bandar Lampung
bersama-sama dengan perwakilan dari WHO, UNICEF, dan Global Fund to Fight AIDS, Tuberculosis and Malaria (GF-ATM). Sebelumnya, Princess Astrid
juga akan menghadiri rangkaian Peringatan Hari Malaria Sedunia di Indonesia dan
Pengukuhan Forum Nasional Gebrak Malaria bersama Wakil Presiden Budiono dan Menteri Kesehatan RI,
dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, Dr.PH.
Malaria
masih mengancam kesehatan masyarakat. Berdasarkan The World Malaria Report
2011, dilaporkan bahwa setengah dari penduduk dunia berisiko terkena malaria.
Hal ini, tentu saja berdampak pada penurunan kualitas sumber daya manusia yang
dapat menimbulkan berbagai masalah sosial, ekonomi bahkan berpengaruh terhadap
ketahanan nasional
Indonesia merupakan salah satu negara yang masih terjadi
transmisi malaria atau berisiko Malaria (Risk Malaria), karena hingga
tahun 2011, terdapat 374 Kabupaten
endemis malaria. Pada 2011,
jumlah kasus malaria di Indonesia 256.592 orang dari 1.322.451 kasus suspek
malaria yang diperiksa sediaan darahnya, dengan Annual Parasite Insidence (API)
1,75 per seribu penduduk. Hal ini berarti, setiap 1000 penduduk terdapat
2 orang terkena malaria.
Berbagai
upaya eliminasi malaria dilakukan sejak beberapa dekade lalu. Diawali pada
1959, melalui Gerakan Pembasmian Malaria melalui Komando Pembasmian Malaria
(KOPEM), yang berhasil menurunkan jumlah kasus malaria secara bermakna
khususnya di Pulau Jawa. Karena adanya keterbatasan dana, program ini terhenti
pada 1969 dan diubah secara bertahap menjadi upaya pemberantasan yang
diintegrasikan ke dalam sistim pelayanan kesehatan, seperti Puskesmas,
Puskesmas Pembantu (Pustu), dan lain-lain.
Berdasarkan
pengalaman tersebut, upaya penanggulangan malaria tidak berhasil optimal bila
hanya bertumpu pada sektor kesehatan semata karena berkaitan dengan berbagai
aspek lainnya. Hal inilah yang mendasari negara-negara WHO berkomitmen untuk
meluncurkan gerakan intensifikasi pengendalian malaria dengan kemitraan global,
Roll Back Malaria Initiative (RBMI) pada Oktober
1998. Sebagai bentuk operasional dari RBMI, di Indonesia upaya pemberantasan
malaria melalui kemitraan dengan seluruh komponen masyarakat ini dikenal sebagai
Gerakan Berantas Kembali Malaria (Gebrak Malaria), dicanangkan oleh Menteri Kesehatan
pada 8 April 2000 di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Lebih lanjut, Indonesia
bertekad untuk melakukan eliminasi malaria pada 2030, sesuai dengan Keputusan Menkes No.293/Menkes/SK/IV/2009 tanggal 28
April 2009 tentang Eliminasi malaria di Indonesia.
Untuk mengeliminasi malaria, pelaksanaan Gebrak Malaria di berbagai
daerah harus dilaksanakan secara intensif dan komprehensif dengan melibatkan
berbagai sektor, keahlian, organisasi profesi dan organisasi kemasyarakatan terkait sebagai mitra. Untuk itu, maka di tingkat
pusat akan segera dibentuk Forum Nasional Gerakan Berantas Kembali (Gebrak)
Malaria.
Forum Nasional Gebrak Malaria merupakan forum
koordinasi lintas program dan lintas sektor yang bertugas membantu Menteri
Kesehatan melalui Direktorat Jenderal PP dan PL untuk merumuskan
berbagai kebijakan dan strategi dalam menggerakkan kegiatan pengendalian
malaria, serta menggalang kemitraan dengan berbagai stakeholder terkait menuju tercapainya eliminasi malaria tahun
2030. Forum ini terbagi menjadi enam komisi, yaitu Komisi Diagnosis dan
Pengobatan Malaria; Komisi Laboratorium; Komisi Penilaian Eliminasi; Komisi Pengendalian
Faktor Risiko; Komisi Kemitraan; dan Komisi Operasional Riset.
Secara umum, Forum Nasional Gebrak Malaria memiliki
tugas untuk melakukan kajian ilmiah tentang pelaksanaan diagnosis dan
pengobatan malaria terkini guna merekomendasikan strategi dan pedoman
penatalaksanaan kasus malaria yang efektif dan aman; melakukan kajian ilmiah
tentang kualitas laboratorium dan pemeriksaan malaria serta merekomendasikan
hasilnya; melakukan advokasi dan sosialisasi ditingkat pusat dan daerah untuk
meningkatkan kemitraan dan komitmen; melakukan telaah terhadap hasil penilaian
tim monitoring eliminasi di Kabupaten/Kota atau Provinsi dan mengusulkan kepada
Menteri Kesehatan untuk memperoleh sertifikat bebas malaria tingkat wilayah dan
kepada WHO untuk tingkat nasional apabila memenuhi persyaratan; melakukan
telaah kebijakan pengendalian vektor malaria dan faktor risiko
lainnya; serta merumuskan, memfasilitasi dan menggerakkan kerjasama lintas
program dan lintas sektor.
Hal-hal
yang harus diperhatikan dalam upaya penanggulangan malaria, diantaranya diagnosis malaria harus
dikonfirmasi secara mikroskopis atau dengan Uji Reaksi Cepat yang disebut Rapid Diagnostic Test (RDT); pengobatan menggunakan Artemisinin
Combination Therapy (ACT);
pelatihan
petugas kesehatan
dalam manajemen program malaria, tatalaksana kasus terkini, dan pemeriksaan
parasit malaria; penemuan aktif penderita; penatalaksanaan kasus dan pengobatan; pengendalian
vektor; Pos Malaria Desa
(Posmaldes);
serta penyediaan sarana seperti mikroskop, RDT, bahan laboratorium, dan obat-obatan (ACT).
Sebagai
bentuk komitmen para kepala daerah untuk bersama-sama mengeliminasi malaria,
saat ini telah dibentuk malaria center
di beberapa derah. Saat ini,
malaria center sudah terbentuk
di Kab. Tikep, Kab. Halmahera
Selatan, Kab. Halmahera Barat,
Kab. Halmahera Tengah, Kota Ternate, Kab. Halmahera Timur dan Kab. Sula Kepulauan, Provinsi Maluku Utara. Selain itu, terdapat pula di
Kab. Mandailing Natal, Provinsi Sumatera Utara dan di Provinsi Kepulaun Bangka
Belitung.